Senin, 01 Agustus 2011

Chemistry education

Kimia membuat hidup lebih hidup....
Montmorilonit membuka mata dunia:)


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini industri tumbuh dan berkembang dengan pesat. Hal tersebut tidak hanya membawa dampak yang positif bagi perekonomian, tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang tidak terhindarkan yaitu semakin meningkatnya limbah yang masuk ke dalam perairan, baik berupa limbah cair, limbah padat maupun limbah gas.
Limbah adalah konsekuensi logis dari setiap pendirian pabrik. Limbah cair bersumber dari pabrik yang biasanya banyak menggunakan air dalam sistem prosesnya. Sebagian besar air yang telah digunakan dalam sistem produksi akan dilepaskan bersama-sama dengan berbagai jenis polutan yang terkandung di dalamnya. Air yang mengandung senyawa kimia beracun dan berbahaya mempunyai sifat tertentu yang dapat diidentifikasi dari kekeruhan, warna air, rasa, dan bau yang ditimbulkan (Evan, 2007; http://www.umb.com).
Limbah cair yang dibuang ini akan menyebabkan penurunan kualitas pada lingkungan tempat pembuangan yang mengancam kelestarian ekosistem, ketersediaan air bersih bagi kebutuhan manusia dan sering kali merupakan awal terjadinya pencemaran tanah dan udara (Suparni , 2008: 2).
Perkembangan industri petrokimia memberikan sumbang polutan organik paling tinggi. Industri petrokimia yang umumnya berbahan baku minyak bumi atau gas bumi akan menghasilkan hidrokarbon yang merupakan salah satu komponen penyebab pencemaran dan dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan. Salah satu limbah yang tersebar luas di lingkungan adalah toluena. Toluena digunakan sebagai aditif pada gasolin, meningkatkan tingkat oktan; dalam produksi benzena, nilon, plastik, dan poliuretan; dan sebagai pelarut pada cat, tinta, adhessive dan pembersih (United State Enviromental Protection Agency, 2007: 17).
1
 
Toluena dengan rumus C6H5CH3 merupakan polutan organik yang bersifat non korosif, tak berwarna, berbau aromatik, tergolong sebagai senyawa organik volatile (VOC). Senyawa organik volatile (VOC) adalah senyawa organik yang mudah menguap, pencemar udara yang berbahaya dan juga prekusor ozon yang dapat meningkatkan produksi ozon meningkat dengan cepat, dimana peningkatan ozon ini juga dapat menyebabkan berbagai efek yang lainnya (United State Enviromental Protection Agency, 2007: 17).
Toluena masuk ke dalam tubuh bisa melalui udara, air minum, ataupun makanan yang telah tercemar. Toluena atau persenyawaan toluena yang masuk ke dalam tubuh akan ikut dalam proses metabolisme tubuh. Toluena mempengaruhi sistem saraf pusat. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan peredaran darah dan sistem pernapasan tidak berfungsi normal. Kadar rendah sampai menengah dapat menyebabkan keletihan, kebingungan, kelemahan, bertindak seperti pemabuk, mual, hilang nafsu makan, hilang ingatan, hilang pendengaran, dan hilang penglihatan warna (Agency for Toxic Substances and Disease Registry-Department of Health and Human Services for Toluene, 2007: 4).
Salah satu upaya pemerintah untuk mengantisipasi efek negatif dari zat kimia yang merusak lingkungan dan kesehatan adalah dengan menetapkan nilai ambang batas paparan untuk zat kimia berbahaya termasuk di dalamnya toluena, yaitu 50 ppm/8 jam dan 150 ppm/ 15 menit (Badan Standardisasi Nasional, 2005). 
Salah satu cara penanganan terhadap polutan tersebut yaitu dengan menggunakan adsorben yang berasal dari alam, misalnya bentonit. Bentonit merupakan jenis lempung dengan kandungan mineral montmorilonit yang cukup tinggi. Montmorilonit memiliki sifat diantaranya kemampuan mengembang dan mengkerut sehingga mampu menyemat ion-ion logam, dan senyawa-senyawa organik (Kim H. Tan, 2004: 108).
Potensi bahan galian bentonit di Provinsi Jawa Tengah diperkirakan sebesar 332,190 juta ton terbesar di kabupaten Boyolali, Sragen, Kebumen, dan Cilacap yang berupa Na bentonit dan Ca bentonit. Bentonit merupakan istilah komersial di pasaran dari bahan galian yang memiliki kandungan mineral montmorilonit tinggi. Bentonit banyak dipakai di industri. Terdapat lebih dari 25 segmen pasar tersedia untuk menampung hasil pengolahan bentonit (Central Java Investment Board, 2007: 1).
Kabupaten Boyolali merupakan salah satu wilayah di Jawa Tengah yang cukup berpotensi penghasil tambang yang berupa bahan galian golongan C yang berupa bentonit. Di Kabupaten Boyolali, endapan bentonit terdapat di 13 lokasi meliputi Kecamatan Simo, Klego, Kemusu, Karanggede, dan Wonosegoro. Potensi pada areal ini 741,7 hektar dengan jumlah deposit 82.599,490 ton (Departemen Pertambangan Boyolali, 2007).
Beberapa riset yang dilakukan sebelumnya oleh Qian Guan-ren (2006: 1)  menunjukkan bahwa sistem adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik dapat menjawab ketidakpuasan hasil kinerja adsorben tunggal yang diterapkan dalam pengolahan limbah cair. Faktanya  beberapa adsorben tunggal (karbon aktif dan berbagai jenis clay) kurang efektif, karena afinitasnya yang rendah terhadap anion dan molekul organik. Alasan mengapa surfaktan dapat digunakan untuk meremediasi polutan dapat diterangkan dengan beberapa mekanisme yang telah disarankan oleh ahli yakni: pertukaran ion, interaksi elektrostatik, dan kelarutan.
Dari penelitian Mousavi et al, dalam jurnalnya ”Use of Modified Bentonite for Phenolic Adsorption in Treatment of Olive Mill Wastewater ” (2006: 3), adsorpsi sistem adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik terhadap limbah organik semakin meningkat dengan penggunaan surfaktan. Jerapan adsorben meningkat dengan bertambahnya panjang rantai gugus hidrofobik surfaktan. Hal ini disebabkan gugus hidrofobik pada surfaktan bersifat non polar sehingga sesuai kaidah ”like dissolve like” bahwa semakin panjang gugus  hidrofobik surfaktan maka akan memiliki interaksi yang lebih besar dengan polutan organik dan semakin besar pula limbah organik yang teradsorpsi.
Kebutuhan bentonit per tahun sebagai adsorben cukup besar. Bentonit merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, sehingga lama kelaman akan habis. Bentonit yang telah digunakan sebagai adsorben, apabila dibuang membutuhkan luas permukaan yang besar, dan apabila telah jenuh dengan polutan yang tertahan dalam bentonit bekas dapat berbahaya bagi lingkungan. Hal-hal tersebut menjadikan perlunya regenerasi bentonit bekas untuk menghemat penggunaan fresh bentonit.
Pada penelitian ini akan mempelajari regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik terhadap senyawa organik toluena. Toluena yang digunakan adalah skala laboratorium, sehingga tidak digunakan sampel limbah secara langsung. Regenerasi adsorben terhadap polutan toluena dilakukan dengan teknik pencucian menggunakan n-heksana. Adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik  yang telah jenuh dengan polutan toluena dicuci dengan pelarut n-heksana kemudian dikontakkan kembali dengan toluena. Dengan menggunakan variasi waktu kontak pencucian, diharapkan dapat diketahui waktu kontak optimum pada teknik pencucian.
Toluena merupakan zat organik yang mudah menguap sehingga agar data yang dihasilkan akurat dalam pengukuran maka diperlukan alat yang mempunyai daya sensivitas tinggi. Dalam penelitian ini digunakan GLC (Gas  Liquid Chromatograpy) karena alat ini memiliki kecepatan, ketelitian dan daya sensivitas tinggi.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka peneliti akan melakukan penelitian dengan judul ”Regenerasi Adsorben Bentonit Berpenyangga Surfaktan Kationik terhadap Toluena dengan Teknik Pencucian Menggunakan Variasi Waktu Kontak”.













  1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
  1. Berapakah jerapan adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik terhadap toluena sebelum regenerasi?
  2. Berapakah jerapan adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik terhadap toluena pasca regenerasi?
  3. Apakah teknik pencucian efektif digunakan pada proses regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik?
  4. Apakah waktu kontak pencucian berpengaruh terhadap daya jerap adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik pasca regenerasi?
  5. Berapakah waktu kontak optimum pada teknik pencucian yang digunakan pada proses regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik?
  6. Bagaimanakah isoterm adsorpsi dari konsentrasi toluena dengan variasi waktu kontak pencucian oleh adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik?

  1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka masalah penelitian tersebut dibatasi sebagai berikut:
  1. Bentonit yang digunakan berasal dari Desa Bandung, Kec. Wonosegoro, Kab. Boyolali yang dikelola oleh PT. Morgan City.
  2. Sampel zat organik yang digunakan adalah larutan toluena (C6H5CH3) dengan konsentrasi diatas ambang batas yaitu 80 ppm.
  3. Jenis surfaktan yang digunakan adalah surfaktan kationik yaitu Octadecyl ammonium bromide (ODTMA-Br).
  4. Agen pencuci yang digunakan pada proses regenerasi adalah pelarut n-heksana.
  5. Penentuan waktu kontak optimum pada teknik  pencucian yang ditentukan pada rentang waktu 1 jam, 2jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam.
  6. Jerapan bentonit berpenyangga surfaktan kationik terhadap toluena dianalisis dengan GLC (Gas  Liquid Chromatograpy).
  7. Penentuan isoterm adsorpsi dari konsentrasi toluena dengan variasi waktu kontak pencucian oleh adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik.

  1. Perumusan Masalah
Dari latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Berapakah daya jerap adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik pasca regenerasi terhadap toluena dengan variasi waktu kontak pencucian 1 jam, 2jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam?
  2. Berapakah waktu kontak optimum pada teknik pencucian yang digunakan dalam proses regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik?
  3. Apakah teknik pencucian efektif digunakan pada proses regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik?
  4. Bagaimanakah isoterm adsorpsi dari konsentrasi toluena dengan variasi waktu kontak pada teknik pencucian oleh adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik?

  1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitan ini adalah untuk mengetahui:
  1. Daya jerap adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik pasca regenerasi terhadap toluena dengan variasi waktu kontak pencucian 1 jam, 2jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam.
  2. Waktu kontak optimum pada teknik pencucian yang digunakan pada proses regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik.
  3. Apakah teknik pencucian efektif digunakan pada proses regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik.
  4. Isoterm adsorpsi dari konsentrasi toluena dengan variasi waktu kontak pada teknik pencucian oleh adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik.

  1. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah:
  1. Meningkatkan nilai guna bahan galian bentonit yang merupakan potensi alam di wilayah Boyolali.
  2. Memberikan informasi tentang efektivitas teknik pencucian yang digunakan pada proses regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik, sehingga adsorben ini dapat digunakan kembali.
  3. Memberikan informasi tentang isoterm adsorpsi dari konsentrasi toluena dengan variasi waktu kontak pada teknik pencucian oleh adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik.
  4. Menggunakan kembali adsorben hasil regenerasi untuk menyerap polutan untuk menghemat fresh bentonit.















BAB II
LANDASAN TEORI

                                                 A. Tinjauan Pustaka               
1. Adsorpsi
Adsorpsi merupakan peristiwa penjerapan yaitu proses pemisahan bahan dari campuran gas atau cair, bahan yang akan dipisahkan ditarik oleh permukaan zat padat. Zat yang mengadsorpsi disebut adsorben sedangkan yang diadsorpsi disebut adsorbat. Kebanyakan zat pengadsorpsi adalah bahan-bahan yang berpori dan adsorpsi berlangsung pada dinding-dinding pori. Pemisahan terjadi karena perbedaan berat molekul atau karena perbedaan polaritas menyebabkan sebagian molekul melekat pada permukaan itu lebih berat daripada molekul-molekul lainnya. Menurut Emdenisz dan Masdiati (1991:125), adsorpsi adalah suatu proses penjerapan suatu gas atau cairan pada permukaan padatan atau fasa antar muka. Secara umum proses ini dapat dibedakan atas adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Kemampuan adsorben menyerap suatu senyawa sangat dipengaruhi oleh sifat adsorben itu sendiri serta jenis zat yang diserap (adsorbat). Disamping hal ini, kemampuan penyerapan juga dipengaruhi oleh partikel serta sifat permukaan adsorben, suhu, dan waktu kontak antar adsorben dan adsorbat.
Menurut Sukardjo (2002: 190) menerangkan bahwa molekul-molekul pada permukaan zat padat atau zat cair, mempunyai gaya tarik ke arah dalam, karena tidak ada gaya-gaya yang mengimbangi. Adanya gaya-gaya ini menyebabkan zat padat dan zat cair mempunyai gaya adsorpsi. Adsorpsi berbeda dengan absorpsi. Pada absorpsi zat yang diserap masuk ke dalam absorben sedang pada adsorpsi zat yang diserap hanya pada permukaan.
8
 
Adsorpsi zat padat dalam larutan dapat diterangkan berdasarkan adanya tekanan dalam dari larutan yang lebih besar dari tekanan di sekitar permukaan adsorben, molekul-molekul pelarut tidak berada dalam keadaan seimbang. Jika gaya tarikan antara molekul zat terlarut dengan molekul pelarut lebih kecil dari gaya tarikan antara molekul zat terlarut dengan adsorben, maka zat terlarut dapat diadsorpsi (Emdenisz dan Masdiati ,1991: 125).
Jenis adsorpsi ada dua macam yaitu:
a.       Adsorpsi fisik atau adsorpsi Van der Waals
Adsorpsi fisik atau adsorpsi Van der Waals memiliki panas adsorpsi rendah (10.000 kal/ mol) dan kesetimbangan adsorpsi reversible dan cepat.
b.      Adsorpsi kimia atau adsorpsi aktivasi
Adsorpsi kimia atau adsorpsi aktivasi memiliki panas adsorpsi tinggi ( 20.000-100.000 kal/mol) dan adsorpsi di sini terjadi dengan pembentukan senyawa kimia, hingga ikatannya lebih kuat (Sukardjo, 2002: 191).
Isoterm adsorpsi adalah hubungan antara jumlah zat diadsorpsi dan tekanan kesetimbangan atau konsentrasi kesetimbangan pada temperatur tertentu (Sukardjo, 2002: 191). Pendekatan menggunakan kurva isoterm dapat membantu menganalisis karakteristik isoterm berupa kapasitas, afinitas, selektifitas serta mekanisme interaksi adsorpsi (Amrun Amri dkk, 2004: 2).
Dalam kesetimbangan adsorpsi, adsorbat yang teradsorpsi dalam sistem cair-padat diperoleh dari pengukuran konsentrasi larutan pada saat awal dan akhir waktu percobaan. Sedangkan konsentrasi adsorbat di fase padat diperoleh dengan mengkonversi konsentrasi adsorbat teradsopsi ke dalam volume atau massa dengan rumus:
X = (Co-Ce) v/ m
Dimana X  =  konsentrasi adsorbat (ppm)
 Co =  konsentrasi awal (ppm)
 Ce =  konsentrasi pada setimbang (ppm)
  m =  massa adsorben (gr)
   v =   volume larutan pada percobaan (liter)
                                                                                       (Nyoman, 2008: 21)
Ada 4 tipe umum isoterm adsorpsi yaitu S, L, H dan C.


 



                           


Gambar 1. Kurva Isoterm Adsorpsi

 
 

1)      Kurva S : jumlah yang terjerap pada awalnya meningkat dengan meningkatnya kadar adsorbat dalam larutan, kemudian turun dan menjadi nol atau landai setelah ruang kosong dalam adsorban sudah terisi. Tipe ini menunjukkan pada kadar rendah, permukaan memiliki afinitas rendah dan meningkat saat kadar meningkat.
2)      Kurva L : dicirikan oleh slope yang menurun saat kadar meningkat, karena jumlah lokasi jerapan yang kosong menurun akibat terisi oleh adsorbat. Perilaku jerapan semacam ini berkaitan dengan tingginya afinitas adsorben untuk menjerap pada kadar rendah, kemudian mengalami penurunan saat kadar naik.
3)      Kurva H : menunjukkan interaksi yang kuat antara adsorben dan adsorbat, misalnya pada kompleksasi innersphere.
4)      Kurva C : menunjukkan adanya mekanisme penyekatan dengan cara ion atau molekul yang terjerap didistribusikan atau disekat di antara fase titik singgung (interface) dan fase larutan tanpa ada ikatan tertentu antara adsorben dan adsorbat. Mekanisme penyekatan (partitioning) biasanya dilihat dari isoterm jerapan yang linear, adsorpsi/ desorpsi yang dapat balik, suhu berpengaruh kecil pada jerapan, dan tidak ada kompetisi ketika bahan lain ditambahkan.      
                          (Eko Hanudin, 2004: 39-40)
2. Bentonit
a. Pengertian
Bentonit adalah suatu istilah nama dalam dunia perdagangan yang sejenis lempung plastis yang mempunyai kandungan mineral montmorilonit lebih dari 85% (Ganjar Labaik, 2006:60).
Menurut Kim H. Tan (1991:105), montmorilonit memiliki rumus kimia Al2O3.4SiO2.H2O + xH2O. Istilah montmorilonit dikhususkan untuk silikat alumunium terhidrasi dengan sedikit substitusi. Montmorilonit kualitas komersial juga disebut bentonit.
Nama bentonit diusulkan pertama kali oleh  Knight (1898) untuk sejenis lempung koloid yang ditemukan pada formasi benton “Rock Creek“ Wyoming Amerika Serikat. Penamaan istilah bentonit diusulkan sebagai pengganti dari istilah nama lain sebelumnya yaitu “Soapy Clay“ atau “Taylorite“ (1888).  Sedangkan nama montmorilonit itu sendiri berasal dari Perancis pada tahun 1847 untuk penamaan sejenis lempung yang terdapat di  Monmorilon Perancis yang dipublikasikan pada tahun 1853-1856. Grim (1986) mengelompokkan montmoriloit ini ke dalam Smektit Group sub kelompok smektit dioktahedral (heptaphyllitic) bersama dengan beidelit dan nontronit. Sedangkan sub kelompok lainnya adalah smektit trioktahedral (cetaphyllitic) yang terdiri dari mineral hektorit dan saponit (Ganjar Labaik, 2006:2).
Penamaan jenis lempung tergantung dari penemu atau peneliti, misal ahli geologi, mineralogi, mineral industri dan lain-lain. Bentonit dapat dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan kandungan alumunium silikat hydrous, yaitu:
  1. Actinated clay adalah lempung yang kurang memiliki daya pemucat, tetapi daya pemucatnya dapat ditingkatkan melalui pengolahan tertentu.
  2. Fuller’s earth digunakan di dalam fulling atau pembersih bahan wool dari lemak.
    (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, 2005: 1)
b. Proses Pembentukan
Mula terjadinya bentonit secara umum dapat dikelompokkan menjadi empat jenis endapan yaitu hasil endapan dari proses pelapukan, hidrotermal, terdevitrifikasi dan endapan sedimen.
1). Proses Pelapukan
Bentonit ini terbentuk akibat proses pelapukan dari mineral-mineral penyusun batuan yang dipengaruhi oleh iklim, jenis batuan, relief muka bumi, tumbuh-tumbuhan yang berada di atas batuan tersebut. Faktor utama yang menyebabkan terbentuknya jenis mineral lempung dalam proses ini adalah komposisi mineral batuan, komposisi kimia dan daya larut air tanah. Pembentukan mineral lempung oleh pelapukan adalah akibat reaksi ion-ion hidrogen yang terdapat dalam air tanah dengan mineral-mineral silikat. H+ umumnya berasal dari asam karbonat yang terbentuk sebagai akibat pembusukan oleh bakteri terhadap zat organik dalam tanah.
Menurut Wollas (1967) dalam Murray (1990: 3), pada proses pelapukan bila laju aliran air lebih cepat dibanding dengan pelarutan yang terjadi, biasanya di daerah curam maka akan terbentuk gibsit [Al(OH)3)] dari felspar. Jika laju aliran makin rendah biasanya di daerah landai, maka dari felspar tersebut akan terbentuk kaolinit [Al2SiO2(OH)4]. Sedangkan bila laju aliran terhenti biasanya di dalam cekungan, suatu reaksi yang lambat akan terjadi antara kation dengan Al(OH)3 dan silika membentuk montmorilonit [Al2O3.4SiO2.H2O].
2). Proses Hidrotermal
Proses ini berlangsung karena adanya injeksi larutan hidrotermal yang bersifat asam merembes melalui celah-celah rekahan pada batuan  yang dilaluinya, sehingga mengakibatkan terjadinya reaksi antar larutan tersebut dengan bantuan itu. Pada saat reaksi berlangsung, komposisi larutan hidrotermal tersebut menjadi berubah. Unsur-unsur alkali akan dibawa ke arah luar, sehingga selama proses itu berlangsung akan terjadi daerah atau zona yang berkembang dari asam ke basa dan pada umumnya berbentuk melingkar sepanjang rekahan dimana larutan itu menginjeksinya.
Terjadinya montmorilonit sebagai mineral penyusun utama bentonit, terjadi karena adanya ubahan dari felspar plagioklas, mineral mika dan feromagnesian. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya magnesium (Mg) dan kalium (K) yang berasal dari mika atau felspar. Peristiwa ini terjadi pada alterasi hidrotermal tingkat rendah.
3). Proses Devitrifikasi
Pada proses ini bentonit dapat terbentuk dari hasil mekanisme pengendapan debu volkanik yang kaya akan gelas mengalami devitrifikasi (perubahan gelas volkanik menjadi mineral lempung). Setelah diendapkan pada lingkungan danau atau laut.
4. Proses Sedimentasi
Montmorilonit dapat terbentuk tidak saja dari tufa melainkan juga dari endapan sedimentasi dalam suasana basa (alkali) yang sangat silikan (authigenic neoformation) atau yang biasa disebut endapan kimia. Mineral-mineral yang terbentuk secara sedimen yang tidak berasosiasi dengan tufa adalah attapulgit, seopilit dan montmorilonit.
c. Ciri-ciri dan Struktur Kimia
Secara megastropis bentonit dapat diamati secara langsung dengan ciri yang khas yaitu: mempunyai kilap lilin, lunak, berwarna abu-abu kecoklatan sampai kehijauan.
Ciri-ciri montmorilonit:
1.      Kapasitas tukar kation (KPK): sekitar 70 meq/ 100 g
2.      Struktur sel unti: satu lembar oktahedral alumunium yang diapit oleh dua lembar tetrahedral silika.
3.      Luas permukaan spesifik : 700-800 m2/g, area permukaan spesifik ini terbuka pada dispersi dalam air
4.      Kemampuan mengembang dan mengkerut menyebabkan lempung ini dapat menerima dan menyemat ion-ion logam, dan senyawa-senyawa organik.
5.      Sifat mengembang dan mengkerut menyebabkan tanah bersifat plastis saat basah dan keras saat kering (timbul rekahan).
6.      Jarak dasar 10 Å (kering setelah dioven 105°C), bila disisipi glikol etilena  atau glisero, jarak dasarnya menjadi 17 Å .
File:Montmorillonite-en.svg          (Murray, 2007: 12-16).














Gambar 2. Struktur Kimia Montmorilonit
(http://www.wikipedia.org/wiki/image:Montmorilonit.png, 2007:1)
Bentonit tersusun atas mineral montmorilonit yang memiliki struktur lapisan kerangka oktahedral silika alumina yang bermuatan negatif dengan kation bervalensi satu atau dua sebagai penyetimbang muatan yang terletak di antara lapisan-lapisan kerangka oktahedral.          
Mikrostruktur bentonit, diketahui dari karakterisasi menggunakan Scanning Elektron Microsscopy-Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (SEM-EDS), seperti ditunjukkan gambar 3.





clay sem4000x
clay sem7500x
 












Gambar 3. Citra SEM Montmorillonit Boyolali

d. Daya Jerap Bentonit
Sifat daya jerap yang terdapat dalam bentonit terjadi karena adanya ruang pori-pori antar ikatan mineral lempung serta ketidakseimbangan antar muatan listrik dalam ion-ionnya. Daya serap tersebut umumnya berada pada ujung permukaan kristal serta diameter ikatan mineral lempung. Hal ini disebabkan bentonit sebagai bahan penyerap dalam berbagai keperluan baik dalam bentuk basah (suspensi) maupun dalam bentuk kering (serbuk). Luas permukaan bentonit dinyatakan dalam jumlah luas permukaan kristal atau butir kristal bentonit yang berbentuk tepung setiap gram berat (m2/gram). Semakin besar luas permukaannya maka semakin besar pula zat-zat yang terbawa atau melekat pada bentonit (Dinas Pertambangan Sumatera Utara, 2007: 5-6).
Montmorilonit memerlukan perlakuan awal untuk menghilangkan atau memisahkan pengotornya yang berasosiasi secara alami dengan montmorilonit. Pemisahan pengotor dilakukan secara fisika (dengan memanfaatkan perbedaan sifat-sifat fisis antara montmorilonit dengan pengotornya), dan secara kimia (dengan melarutkan pengotor dan memisahkannya), baik dengan basa maupun asam, tanpa merusak struktur kristal montmorilonitnya. Pemisahan pengotor secara kimia dan fisika tersebut sesungguhnya membuat lempung aluminosilikat tersebut memiliki porositas (porisity) dan luas permukaan spesifik (spesific surface area) yang besar sehingga akan memiliki sifat penyerapan  (adsorption) yang besar pula (Azis Muchtar, 2007: 1).
Beberapa riset yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa adsorben bentonit berpenyangga surfaktan dapat digunakan untuk mengadsorpsi zat pencemar organik. Hal ini dikarenakan adsorben telah termodifikasi surfaktan yang memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik sekaligus. Gugus hidrofilik surfaktan akan berikatan dengan bentonit dan gugus hidrofobik surfaktan akan memberikan sifat hidrofobik pada permukaan adsorben. Zat-zat pencemar organik yang umumnya bersifat non polar seperti benzena, toluena, xylena dan lain-lain dapat teradsorpsi pada permukaan adsorben.
Men-Liung Liu (1997: 3) menggunakan alkylamin sebagai modifier permukaan bentonit. Alkylamin yang digunakan bervariasi yaitu ethylamin, buthylamin, hexylamin, octylamin, decylamin, dodecylamin, hexaldecylamin dan octadecylamin. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bentonit yang dimodifikasi dengan bermacam-macam alkylamin menunjukkan kemampuan yang berbeda dalam mengadsorpsi polutan organik. Polutan organik yang digunakan adalah benzena dalam air. Bentonit yang dimodifikasi dengan alkylamin yang memiliki rantai panjang lebih efektif dalam menjerap polutan organik.
Sistem gabungan adsorben lempung-surfaktan merupakan sistem baru yang mulai dikembangkan beberapa waktu terakhir. Mousavi juga menggunakan BDHDA (benzyl dimethyl hexadecyl ammonium bromide) sebagai modifier montmorilonit. Dalam penelitiannya membuktikan bahwa montmorilonit yang dimodifikasi BDHDA lebih efektif dan efisien sebagai adsorben (Mousavi, 2006: 4). Struktur BDHDA ditunjukan pada gambar 4.
Gambar 4. Stuktur BDHDA (benzyl dimethyl hexadecyl ammonium bromide)

3. Toluena (C6H5CH3)
Toluena atau metilbenzena dengan rumus C6H5CH3 merupakan senyawa organik yang bersifat non polar turunan dari benzena dengan substitusi metil. Struktur toluena secara lebih jelas ditunjukkan pada gambar 5 dan gambar 6 dibawah ini:


200px-Toluene_chemical_structure
 







Gambar 5. Struktur Toluena


200px-Toluene-potential-upside-down
 











Gambar 6. Struktur Molekul Tiga Dimensi Toluena (C6H5CH3)
                                                                                 (www.wikipedia.co.id, 2007: 1)
Toluena merupakan zat cair membias, tanpa warna, berbau khas dan terbakar dengan nyala berasap. Seperti hidrokarbon alifatik dan alisiklik, toluena dan hidrokarbon aromatik lain bersifat non polar. Toluena tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti dietil eter, karbon tetra klorida atau heksana. Beberapa sifat fisik dari toluena antara lain:
a. titik leleh (°C)          : -95
b. titik didih (°C)        : 110,
c. titik nyala (°C)         : 7,5
d. tekanan uap(at 20°C): 2,9 kPa
e. kerapatan                 : 850 kg/m3 at 20°C
f. kelarutan dalam air  : 0,1 %water at 16°C; 0,082 %water at 22 °C; 0,0627 %water at 25 ° (Fessenden, 1997: 452).
Toluena paling banyak digunakan sebagai komponen dalam gasolin. Selain itu banyak juga digunakan sebagai campuran dalam cat, pernis, tinta, lem, dan karet. Oleh karena itu aktivitas dan proses produksi dari pabrik tersebut merupakan sumber pencemar toluena antara lain: petrokimia, pabrik kertas dan pulp, pabrik grafit sintesis, pabrik karbon hitam, instalasi penyulingan minyak tanah, sumur pengeboran minyak dan gas dan lain-lain. Sedangkan sumber alamiah pencemar toluena antara lain: gunung berapi, kebakaran hutan dan minyak mentah (www.wikipedia co.id, 2008).
Toluena merupakan polutan organik yang beracun. Toluena atau persenyawaan toluena yang masuk ke dalam tubuh akan ikut dalam proses metabolisme tubuh. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan peredaran darah, sistem pernapasan tidak berfungsi normal, iritasi pada mata, pusing, tidak sadar dan kejang-kejang. Efek negatif dari toluena secara lebih rinci diuraikan dalam tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1. Efek Toluena dalam Tubuh
ppm
Efek Setelah Terakumulasi Dalam Tubuh 8 jam
100 ppm
Sakit kepala, pusing, kelelahan, mengantuk
200 ppm
Koordinasi lemah, kesadaran menurun
600 ppm
Mengantuk, kontrol emosi kurang
800 ppm
Gelisah, otot lemah, insomnia beberapa hari
> 10.000 ppm
Kehilangan kesadaran, merusak jantung, mati
                                    (Department of Health and Human Service, 2009: 3)

4. Surfaktan
a. Pengertian
Secara kimia, surfaktan adalah molekul yang memiliki dua karakteristik yang berbeda (non polar dan polar) dalam satu molekul yang sama. Oleh karena itu, molekul surfaktan mempunyai gugus hidrofil (suka air) dan gugus fidrofob (benci air). Secara simbolis, suatu molekul surfaktan dapat digambarkan sebagai sutu kutub “kepala“ yang bersifat polar (suka air) dan suatu tanpa kutub “ekor“ yang bersifat non polar atau benci air, seperti ditunjukkan pada gambar 7.


 


                    Ekor “non polar“             kepala “polar“
Gambar 7. Surfaktan
Molekul surfaktan yang hidrofob pada umumnya merupakan suatu rantai hidrokarbon. Sedangkan kelompok hidrofil pada umumnya bersifat ion ataupun bukan ion. Bagian yang bersifat hidrofil akan berinteraksi dengan air, sebaliknya molekul yang hidrofob akan lebih suka berinteraksi dengan minyak atau lemak. Berdasarkan sifat hidrofilnya surfaktan digolongkan menjadi 4 yaitu:
a.       anionik yaitu hidrofiliknya bermuatan negatif
b.      kationik yaitu kepala hidrofil bermuatan positif
c.       non ionik yaitu kepala hidrofilik polar tetapi muatannya tidak penuh
d.      amphoterik yaitu molekul mempunyai potensial positif dan negatif dan muatannya tergantung pH medium.
b. Sistem Adsorben Bentonit Berpenyangga Surfaktan Kationik
Salah satu terapan lanjut dari bentonit adalah gabungannya dengan surfaktan. Surfaktan merupakan molekul organik larut dalam air, yang memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik sekaligus. Penelitian ini menggunakan serangkaian surfaktan turunan quarternary amine hexadecyltrimethylammonium (HDTMA), C19H42N+. HDTMA memiliki muatan positif permanen yang berasal dari struktur gugus kepala trimetilammonium pada ujung rantai karbon. Di pasaran surfaktan ini terdapat dalam bentuk garamnya seperti HDTMA-Br dan HDTMA-Cl.
Beberapa jenis surfaktan yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan surfaktan baru yang belum pernah diteliti sebelumnya, terutama gabungannya dengan bentonit dengan sistem adsorben. Surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Octadecyltrimethyl ammonium bromide (ODTMA-Br). Struktur kimia ODTMA-Br digambarkan di bawah ini:
Gambar 8. Struktur kimia ODTMA-Br
Surfaktan ini memiliki gugus kepala amina tersier yang besifat polar dan gugus ekor berupa rantai hidrokarbon yang bersifat nonpolar. Semakin panjnag rantai hidrokarbon maka akan semakin bersifat non polar, sehingga akan mampu mengikat lebih banyak zat pencemar yang bersifat non polar.
c. Pemanfaatan dalam Adsorpsi Limbah
Penelitian sistem adsorben bersurfaktan dilakukan orang untuk menjawab ketidakpuasan hasil kinerja adsorben tunggal yang diterapkan dalam pengolahan limbah cair. Alasan mengapa surfaktan dapat digunakan untuk meremediasi polutan dapat diterangkan dengan beberapa mekanisme yang telah disarankan para ahli yakni: pertukaran ion, interaksi elektrostatik dan kelarutan.

  1. Regenerasi Adsorben
Pemanfaatan teknologi adsorpsi untuk menghilangkan adsorbat dalam hal ini polutan organik bergantung pada kemampuan regenerasi adsorben setelah adsorbat didesorpsi. Desorpsi merupakan kebalikan dari proses adsorpsi. Desorpsi adalah  proses pelepasan kembali adsorbat yang telah berikatan dengan sisi aktif permukaan dari adsorben.
Untuk kepentingan industri beberapa parameter yang menentukan efektif atau tidaknya suatu proses adsorpsi sebagai salah satu alternatif pengolahan limbah polutan organik antara lain kapasitas jerapan maksimum dari adsorben, efisiensi dan selektifitas serta tingkat kemudahan pengambilan polutan organik dari adsorben. Laju adsorpsi sebanding dengan desorpsi.
 Menurut Illiana (2000) dalam Lies (2004: 21), teknik pengambilan adsorbat berdasarkan rusak tidaknya suatu adsorben dibedakan menjadi dua yaitu:
1). teknik non destruktif, yaitu teknik pengambilan adsorbat yang tidak menimbulkan kerusakan pada adsorben dengan harapan adsorben dapat digunakan kembali untuk mengikat adsorbat  dalam hal ini polutan organik.
2). teknik destruktif, yaitu teknik pengambilan adsorbat dengan cara merusak adsorben. Jadi adsorben yang telah bebas dengan adsorbat (polutan organik) tidak dapat digunakan lagi untuk menjerap polutan organik yang baru.
Regenerasi adsorben dapat dilakukan dengan mencuci adsorben dengan larutan yang sesuai, jenis dan kekuatan ikatan larutan bergantung pada pengikatan adsorbat.
Simpson dan Bruce Lehman (1995: 7) dalam jurnalnya “Process for Regeneration Spent Acid-activated Bentonit Clay and Smectite Catalyst“ menyebutkan bahwa pelarut organik digunakan untuk mengekstrak minyak dari bentonit selama proses regenerasi. Beberapa pelarut digunakan untuk sampel bentonit yang jenuh dengan minyak, akan tetapi indikasi awal menyatakan bahwa heksana merupakan pelarut paling baik untuk mencuci sampel.
Organic solvent is used to exstract oil from a bleaching clay during the regeration process. Some solvent system were used for the spent Universal Edible Oil Clay Sample containing 25% by weight adsorbed organic (mostly oil), however the initial indication was, that hexane performed the best when used to washing sample.

  1. Gas Liquid Chromatography
a. Prinsip Kerja
Kromatografi pada dasarnya adalah pemisahan komponen-komponen dalam sampel dengan cara mengalirkan sampel melewati suatu kolom. Sampel dalam hal ini dibawa oleh carrier atau disebut fase gerak (mobile phase). Sedangkan kolom berisi suatu bahan yang disebut fase diam (stasionary phase) yang berfungsi memisah-misahkan komponen sampel. Pemisahan komponen-komponen sampel terjadi karena adanya interaksi antara fase diam dengan komponen sampel. Kromatografi gas-cair biasa disebut kromatografi gas yang merupakan analisis yang sangat bermanfaat. Konsep kromatografi gas-cair telah dikemukan oleh Martin dan Synge pada tahun 1942, tapi baru tahun 1955 instrumen GLC (Gas Liquid Chromatography) komersial dipasarkan.
Dalam kromatografi gas-cair, fase gerak adalah gas seperti helium dan fase diam adalah cairan yang mempunyai titik didih yang tinggi diserap pada padatan. Dalam Kromatografi gas-cair sampel diuapkan dan diinjeksikan ke dalam ujung kolom kromatografi. Elusi dilakukan dengan mengalirkan gas inert yaitu phase gerak (mobile phase). Dalam Kromatografi gas-cair, fase gerak tidak berinteraksi dengan fase diam. Fase gerak hanya semata-mata berfungsi mendorong sampel.
Prinsip kerja GLC yaitu: pemisahan komponen-komponen sampel dengan cara melewatkan sampel pada suatu kolom, yang selanjutnya dilakukan pengukuran kadar masing-masing komponen tersebut dengan suatu detektor. Kerja detektor bermacam-macam tetapi pada dasarnya dapat dibandingkan dengan respon dari larutan standar dari masing-masing komponen. Dengan kata lain, penentuan kadar pada dasarnya adalah membandingkan respon sampel dengan respon standar.
Dalam GLC, bagian alat yang memegang peranan yang sangat penting adalah kolom. Setelah sampel terpisah-pisah dan keluar dari kolom, komponen sampel akan masuk ke dalam suatu detektor. Detektor akan mengukur kadar masing-masing komponen yang responnya akan diolah oleh prosesor dan ditampilkan oleh recorder berupa suatu kromatogram.
b.  Diagram Alir Kromatografi Gas-Cair


 








Gambar 9. Diagram Alir Kromatografi Gas-Cair

c. Komponen Kromatografi Gas-Cair
    1) Injeksi Sampel
Sejumlah kecil sampel yang akan dianalisis diinjeksikan pada mesin menggunakan semprit kecil. Jarum semprit menembus lempengan karet tebal (lempengan karet ini disebut septum). Septum akan kembali secara otomatis ketika semprit ditarik keluar dari lempengan karet tersebut.
 Injektor berada dalam oven yang temperaturnya dapat dikontrol. Oven tersebut cukup panas sehingga sampel dapat mendidih dan diangkut ke kolom oleh gas pembawa misalnya helium atau gas lainnya.
2) Kolom
Kromatografi Gas-Cair memiliki dua tipe utama kolom. Tipe pertama berbentuk tube panjang dan tipis berisi material padatan sedangkan tipe kedua lebih tipis dan memiliki fase diam yang berikatan dengan pada bagian terdalam permukaannya. Kolom biasanya dibuat dari baja tidak berkarat dengan panjang antara 1-4 meter, dengan diameter internal sampai 4 mm.
Kolom digulung sehingga dapat disesuaikan dengan oven yang terkontrol secara termostatis. Kolom dipadatkan dengan tanah diatome yang merupakan batu berpori. Tanah ini dilapisi dengan cairan bertitik didih tinggi, biasanya polimer lilin.
d. Temperatur Kolom
Temperatur kolom dapat bervariasi antara 50°C - 250°C. Temperatur kolom lebih rendah daripada gerbang injeksi pada oven, sehingga beberapa komponen campuran dapat berkondensasi pada awal kolom.
e. Pemisahan Senyawa pada Kromatografi Gas-Cair
Ada tiga kemungkinan yang dapat berlangsung pada senyawa tertentu dalam campuran yang diinjeksikan pada kolom, yaitu:
1.  senyawa dapat berkondensasi pada fase diam
2.  senyawa dapat larut dalam cairan pada permukaan fase diam
3.  senyawa dapat tetap pada fase gas
dari ketiga kemungkinan diatas, tidak ada satupun yang permanen.
Senyawa yang mempunyai titik didih yang lebih tinggi dari temperataur kolom secara jelas cenderung akan berkondensasi pada bagian awal kolom. Namun, beberapa bagian dari senyawa tersebut akan menguap saat udara panas, meskipun temperatur dibawah 100°C. Sama halnya untuk beberapa molekul dapat larut dalam fase diam cair. Beberapa senyawa akan lebih mudah larut dalam cairan dibanding yang lainnya. Senyawa yang lebih mudah larut akan menghabiskan waktunya untuk diserap pada fase diam, sedangkan senyawa yang suka larut akan menghabiskan waktunya lebih banyak dalam fase gas.
Proses dimana zat membagi dirinya menjadi dua pelarut yang tidak bercampurkan karena perbedaan kelarutan, dimana kelarutan dalam satu pelarut satu lebih mudah dibanding dengan pelarut lainnya yang disebut sebagai partisi. Beberapa molekul dalam substansi menghabiskan waktu untuk bergerak bersama-sama dengan gas.
f. Waktu Retensi
Waktu yang digunakan oleh senyawa tertentu untuk bergerak melalui kolom menuju ke detektor disebut waktu retensi. Waktu ini diukur berdasarkan waktu dari sampel diinjeksikan pada titik dimana tampilan menunjukkan tinggi puncak maksimum untuk senyawa itu. Setiap senyawa memiliki waktu retensi yang berbeda. Waktu retensi sangat bervariasi dan bergantung pada:
a.       Titik didih senyawa. Senyawa yang mendidih pada temperatur yang lebih tinggi daripada temperatur kolom, akan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk berkondensasi sebagai cairan pada awal kolom. Dengan demikian, titik didih yang tinggi akan memiliki waktu retensi yang lama.
b.      Kelarutan dalam fase cair. Senyawa yang lebih mudah larut dalam fase cair, akan mempunyai waktu lebih singkat untuk dibawa oleh gas pembawa. Kelarutan yang tinggi dalam fase cair berarti memiliki waktu retensi yang lama.
c.       Temperatur kolom. Temperatur tinggi menyebabkan pergerakan molekul-molekul dalam fase gas; karena molekul-molekul lebih mudah menguap, atau karena energi atraksi yang tinggi pada cairan. Temperatur kolom yang tinggi mempersingkat waktu retensi untuk segala sesuatunya di dalam kolom.
Semakin rendah temperatur kolom semakin baik pemisahan yang akan didapatkan, tetapi akan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan senyawa karena kondensasi yang lama pada bagian awal kolom. Dengan kata lain, menggunakan temperatur tinggi akan menghasilkan pemisahan yang kurang baik. Jika senyawa melalui kolom dalam waktu yang sangat singkat, tidak akan terdapat jarak antara puncak-puncak dalam kromatogram. Pada awalnya senyawa yang menghabiskan lebih banyak waktunya dalam fase gas akan melalui kolom secara cepat dan dapat dideteksi.
g. Detektor


 










Gambar 10. Detektor  Kromatografi Gas-Cair
Detektor ionisasi nyala adalah tipe detektor yang umum digunakan. Dalam mekanisme reaksi, pembakaran senyawa organik merupakan hal yang sangat komplek. Selama proses, sejumlah ion-ion dan elektron-elektron dihasilkan dalam nyala. Kehadiran ion dan elektron dapat dideteksi. Seluruh detektor ditutup dalam oven yang lebih panas dibanding dengan temperatur kolom. Hal itu menghentikan kondensasi dalam detektor.
Jika tidak terdapat senyawa organik datang dari kolom, maka kita hanya memiliki nyala hidrogen yang terbakar dalam air. Ketika dibakar, hidrogen akan menghasilkan sejumlah ion-ion dan elektron-elektron dalam nyala. Ion positif akan beratraksi pada katoda silinder. Ion-ion negatif dan elektron-elektron akan beratraksi dan masing-masing pancarannya merupakan anoda.
h. Penerjemahan Hasil dari Detektor
Hasil akan direkam sebagai urutan puncak-puncak, setiap puncak mewakili satu senyawa dalam campuran yang melalui detektor. Kromatogram hasil penerjemahan digambarkan sebagai berikut:



Text Box: 5,43Text Box: 6,24Text Box: 8,35Text Box: 11,12Text Box: 6,71Text Box: 5,43,Text Box: 6,24,Text Box: 8,35,Text Box: 11,12,Text Box: 6,71
 










Gambar 11 : Kromatogram Hasil Penerjemahan
Dengan membandingkan waktu retensi senyawa yang diteliti dengan senyawa murni maka kita dapat mengindentifikasi senyawa yang diteliti. Area dibawah puncak sebanding dengan jumlah setiap senyawa yang telah melewati detektor dan area ini dapat dihitung secara otomatis melalui komputer yang dihubungkan dengan monitor (Ashadi, 1999: 47-51).

6. Heksana
Heksana adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14 (isomer utama n-heksana memiliki rumus CH3(CH2)4CH3). Awalan heks- merujuk pada enam karbon atom yang terdapat pada heksana dan akhiran -ana berasal dari alkana, yang merujuk pada ikatan tunggal yang menghubungkan atom-atom karbon tersebut. Seluruh isomer heksana amat tidak reaktif, dan sering digunakan sebagai pelarut organik yang inert seperti benzena,toluena, p-xylen dan lain-lain. Heksana juga umum terdapat pada bensin dan lem sepatu, kulit dan tekstil. Dalam keadaan standar senyawa ini merupakan cairan tak berwarna yang tidak larut dalam air.
                                                                                     (www.wikipedia.co.id, 2007)
  1. Kerangka Pemikiran
Bentonit tersusun atas mineral montmorilonit yang memiliki struktur lapisan kerangka oktahedral dan tetrahedral silika alumina yang bermuatan negatif dengan kation bervalensi satu atau dua sebagai penyetimbang muatan yang terletak di antara lapisan- lapisan kerangka oktahedral. Sehingga dengan struktur yang berlapis-lapis ini montmorilonit dapat dimanfaatkan sebagai adsorben. Sifat lain yang mendukung montmorilonit dapat dimanfaatkan sebagai bahan adsorben yaitu kemampuan mengembang dan mengkerut. Daya jerap yang terdapat dalam bentonit terjadi karena adanya ruang pori-pori antar ikatan mineral lempung serta ketidakseimbangan antara muatan listrik dalam ion-ionnya. Selain itu, montmorilonit yang mempunyai struktur antar lapis dapat dimodifikasi sehingga dapat memperbaiki sifatnya serta pemanfaatan bentonit sebagai adsorben dapat diregenerasi.
Bentonit dapat dimanfaatkan sebagai adsorben limbah cair. Termasuk diantaranya polutan organik, misalnya toluena. Toluena merupakan salah satu polutan organik yang bersifat non polar dan beracun. Sangat sulit melakukan remediasi terhadap polutan organik. Beberapa adsorben tunggal kurang efektif dalam adsorpsi polutan organik.
Adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik merupakan aplikasi untuk meningkatkan kinerja adsorben tunggal. Surfaktan dapat digunakan untuk meremidiasi polutan dapat diterangkan melalui beberapa mekanisme, antar lain: pertukaran ion, interaksi elektrostatik dan kelarutan. Surfaktan tersebut memiliki gugus kepala amina tersier yang bersifat polar dan gugus ekor berupa rantai hidrokarbon yang bersifat non polar.
Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa sistem adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik menunjukkan bahwa adsorpsi polutan organik semakin meningkat dengan penggunaan surfaktan. Jerapan adsorben meningkat dengan bertambahnya panjang rantai gugus hidrofobik surfaktan. Hal ini disebabkan gugus hidrofobik pada surfaktan bersifat non polar sehingga sesuai kaidah ”like dissolve like” bahwa semakin panjang gugus hidrofobik surfaktan maka akan memiliki interaksi yang lebih besar dengan polutan organik dan semakin besar pula polutan organik yang teradsorpsi. Pada penelitian ini digunakan ODTMA-Br (Octadecyltrimethyl ammonium bromide) sebagai surfaktan. ODTMA-Br memiliki gugus kepala amina tersier yang terdiri dari 18 atom C (-C18H37), dimana rantai tersebut bersifat non polar.
Kebutuhan bentonit per tahun sebagai adsorben cukup besar. Bentonit merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, sehingga lama kelaman akan habis. Bentonit yang telah digunakan sebagai adsorben, apabila dibuang membutuhkan luas permukaan yang besar, dan apabila telah jenuh dengan polutan yang tertahan dalam bentonit bekas dapat berbahaya bagi lingkungan. Hal-hal tersebut menjadikan perlunya regenerasi bentonit bekas untuk menghemat penggunaan fresh bentonit.
Pada penelitian ini akan mempelajari regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik terhadap polutan organik toluena. Toluena yang digunakan pada skala laboratorium, sehingga tidak digunakan sampel limbah secara langsung. Regenerasi adsorben terhadap polutan organik dilakukan dengan teknik pencucian menggunakan pelarut n-heksana.
Adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik  jenuh dengan toluena diregenerasi dengan teknik pencucian menggunakan pelarut n-heksana. Diharapkan dengan teknik pencucian ini toluena yang terjerap dalam adsorben dapat lepas dan terlarut dalam n-heksana, sehingga adsorben menjadi bersih terhadap toluena dan efektif digunakan kembali sebagai adsorben.
Adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik yang telah diregenerasi dikontakkan kembali dengan toluena. Penelitian ini mengkaji variasi waktu kontak antara adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik yang telah jenuh toluena dengan pelarut n-heksana, sehingga diharapkan dapat diketahui waktu optimum yang dibutuhkan untuk melepas toluena dari adsorben.
Untuk mengetahui keefektifan teknik pencucian pada regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik  maka perlu dilakukan penelitian mengenai daya jerap adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik  pasca pencucian terhadap toluena. Dalam penelitian ini digunakan variasi waktu kontak pencucian selama 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam. Dengan variasi waktu kontak pencucian, maka dapat diketahui daya jerap maksimum adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik  pasca regenerasi. Hubungan antara variasi waktu kontak pencucian dengan daya jerap adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik  dapat digambarkan dalam kurva isoterm adsorpsi.
Toluena merupakan zat organik yang mudah menguap sehingga agar data yang dihasilkan akurat dalam pengukuran maka diperlukan alat yang mempunyai daya sensivitas tinggi. Dalam penelitian ini digunakan GLC (Gas Liquid Chromatograpy) karena alat ini memiliki kecepatan, ketelitian dan daya sensivitas tinggi.

C. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran, maka dikemukakan hipotesis sebagai berikut:
1.      Daya jerap adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik pasca regenerasi terhadap toluena dengan variasi waktu kontak pencucian 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan 5 jam adalah meningkat dengan bertambahnya waktu kontak pencucian dan cenderung tetap setelah kesetimbangan tercapai.
2.      Terdapat waktu kontak optimum pada teknik pencucian adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik.
3.      Teknik pencucian menggunakan pelarut n-heksana efektif digunakan pada proses regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik.
4.      Isoterm adsorpsi dari konsentrasi toluena dengan variasi waktu kontak pada teknik pencucian oleh adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik adalah meningkat dengan bertambahnya waktu kontak pencucian dan cenderung tetap setelah kesetimbangan tercapai.



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Tempat dan Waktu Penelitian
  1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Program Kimia P. MIPA FKIP dan Laboratorium Pusat Sub Lab. Kimia Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2009-Januari 2010 .
B. Sampel
Populasi dalam penelitian ini berasal dari 2,3 hektar areal wilayah yang berpotensi menghasilkan bentonit yang terletak di Desa Bandung Kec. Wonosegoro Kab. Boyolali yang dikelola oleh ” PT Morgan City” yang berada di Desa Cukil Kec. Tengaran Kab. Semarang. Sampel dalam penelitian adalah bentonit yang berasal dari Desa Bandung Kec. Wonosegoro Kab. Boyolali.
C. Teknik Pengambil Sampel
Pengambilan sampel bentonit dilakukan dengan teknik random sampling yaitu diambil secara acak pada sebagian populasinya yang berasal dari Desa Bandung Kec. Wonosegoro Kab. Boyolali yang dikelola oleh ” PT Morgan City” yang berada di Desa Cukil Kec. Tengaran Kab. Semarang.
D. Alat dan Bahan
1.      Alat
  1. Gelas ukur 10 ml                                             12. Corong pisah
  2. Gelas beker 100 ml                                         13. Ayakan 200 mesh
  3. Gelas beker 1000 ml                                       14. Shaker universal OSK
  4. Erlenmeyer 250 ml                                               6455,Ogawa
  5. Labu ukur 25 ml                                              15. Desikator
  6. Pipet tetes                                                       16. Corong kaca
  7. Kaca arloji                                                       17. Kertas saring whatman 42
  8. Neraca analitik                                                18. Milex
  9. Oven listrik                                                     19. GLC
  10. Alu dan mortir                                                            20. Botol kaca
  11. Pengaduk kaca
2. Bahan
1. Bentonit
2. Akuades
3. Akuabides
4. Toluena
5. ODTMA-Br
6. Heksana
E. Teknik Pengumpulan Data

1. Preparasi Adsorben


 






 


















29
 
Gambar 12 a. Bagan Preparasi Adsorben Bentonit


 


































Gambar 12.b. Lanjutan Bagan Preparasi Adsorben











2. Penetuan Adsorpsi Toluena (C6H5CH3) oleh Adsorben Bentonit Berpenyangga Surfaktan Kationik (ODTMA-Br)

 








































Gambar 12.c. Bagan Cara Kerja Penentuan Adsorbsi Toluena
  1. Teknik Regenerasi Adsorben Bentonit Berpenyangga Surfaktan Kationik (ODTMA-Br) Terhadap Toluena (C6H5CH3)



 








                                                                                                           














Gambar 12.d. Bagan Cara Kerja Regenerasi Adsorben


















 












































Gambar 12.e. Bagan Cara Kerja Penentuan Adsorpsi Toluena Pasca Regenerasi

F. Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini, kemudian dianalisis secara deskriptif berdasarkan perhitungan secara kuantitatif.
Konsentrasi toluena pada penelitian ini ditentukan dengan membandingkan luas area larutan standar dengan sampel pada kromatogram yang dihasilkan oleh GLC (Gas  Liquid Chromatograpy). Data hasil dari pengukuran luas area pada kromatogram diplotkan pada kurva kalibrasi larutan toluena standar sehingga diperoleh data konsentrasi.
Daya jerap adsorben terhadap adsorbat dapat diketahui dari data kesetimbangan adsorpsi toluena dalam sistem cair-padat dengan pengukuran konsentrasi toluena di fase cair pada keadaan setimbang, dengan rumus:
y = x konsentrasi toluena awal
dimana y = konsentrasi toluena terjerap
Sedangkan konsentrasi toluena di fase padat diperoleh dari neraca massa menggunakan konsentrasi toluena pada saat awal dan akhir waktu percobaan dengan rumus:
qe = Co-Ce/ m
dengan
qe = konsentrasi adsorbat terjerap oleh adsorben pada kesetimbangan (ppm)
Co= konsentrasi awal larutan pada percobaan (ppm)
Ce= konsentrasi pada kesetimbangan (ppm)
m = berat adsorben (gr)
Pada penetuan isoterm adsorpsi, digunakan variasi waktu  kontak pencucian masing-masing selama 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam. Isoterm adsorpsi digambarkan pada hubungan konsentrasi adsorbat toluena yang terjerap dalam adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik dengan variasi waktu kontak pencucian. Waktu kontak pencucian yaitu waktu yang dibutuhkan n-heksana untuk mencuci bentonit yang telah jenuh toluena.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil Penelitian
Konsentrasi toluena diukur dengan kromatografi gas-cair menggunakan kondisi sebagai berikut:
a.           kolom serial 83464
b.          suhu kolom 50-200°C
c.           fase gerak berupa gas nitrogen
d.          gas pembakar berupa hidrogen
e.           detektor FID
f.           suhu detektor 150°C
g.          suhu injektor 100°C
h.          kenaikan suhu kolom 5°C per menit
Perhitungan konsentrasi toluena didasarkan pada luas area yang dihasilkan pada kromatogram.
Tabel 2. Hasil pengukuran larutan standar yaitu toluena dalam n-heksana
Konsentrasi larutan standar (ppm)
Luas area
20
16613,1820
40
26493,8280
60
48327,0540
80
63157,2100













Gambar kurva kalibrasi larutan toluena









Gambar 13. Kurva Kalibrasi Larutan Toluena
Konsentrasi awal toluena (ppm)
Konsentrasi akhir
toluena (ppm)
Konsentrasi toluena terjerap (ppm)
Konsentrasi toluena terjerap (%)
Konsentrasi toluena terjerap oleh adsorben (ml/gr)
80
1,62
78,38
97,97
0,07838
Tabel 3. Hasil pengukuran konsentrasi toluena terjerap adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik sebelum regenerasi










Konsentrasi awal
toluena (ppm)
Waktu
kontak (jam)
Konsentrasi
akhir toluena (ppm)
Konsentrasi toluena terjerap (ppm)
Konsentrasi toluena terjerap (%)
Konsentrasi toluena terjerap oleh adsorben (ml/gr)
80
1
11,42
68,58
85,57
0,06858
80
2
7,81
72,19
90,23
0,07219
80
3
5,16
74,84
93,55
0,07484
80
4
2,24
77,76
97,20
0,07776
80
5
5,73
74,27
92,83
0,07427
Tabel 4. Hasil pengukuran konsentrasi toluena terjerap adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik pasca regenerasi dengan variasi waktu kontak pencucian
Data hasil perhitungan konsentrasi toluena terjerap oleh adsorben pada masing-masing variasi waktu kontak pencucian pada proses regenerasi dapat diplotkan dalam kurva isoterm adsorpsi yang  disajikan dalam gambar 14 (a) dan (b).
















 












(a)


 











(b)  
Gambar 14. Kurva Isoterm Adsorpsi Adsorben Bentonit Berpenyangga Surfaktan
Kationik terhadap Toluena Pasca Regenerasi
(a)    Waktu Kontak Pencucian vs Konsentrasi Toluena Teradsorpsi (ppm)
(b)   Waktu Kontak Pencucian vs Konsentrasi Teradsorpsi (ml toluena/ g adsorben)


B.     Pembahasan
1.      Preparasi Adsorben
Foto(006)Pada penelitian ini digunakan bentonit Boyolali sebagai bahan adsorben. Bentonit Boyolali memiliki ciri-ciri berwarna coklat krem, memiliki kilap lilin dan apabila didispersikan ke dalam air, bentonit cukup mengembang. Bentonit merupakan istilah komersial dari lempung yang memiliki kandungan montmorilonit yang cukup tinggi. Bentonit adalah suatu istilah nama dalam dunia pedagangan yang sejenis lempung plastis yang mempunyai kandungan mineral montmorilonit lebih dari 85% (Ganjar Labaik, 2006: 2).
Foto 










Gambar 15. Bentonit yang Berasal dari Wonosegoro Boyolali
(a) Bongkahan Bentonit  (b) Serpihan Bentonit
36
 
Pada preparasi sampel bentonit, diberi perlakuan awal yaitu bentonit yang masih berupa bongkahan dihancurkan menggunakan alu dan mortir kemudian dilakukan tahap pencucian. Pencucian dilakukan dengan mendispersikan serpihan bentonit di dalam akuades, menyaringnya dari pengotor, mengendapkannya ± 24 jam, dan kemudian mendekantasinya. Pencucian dengan akuades ini dilakukan secara bertahap dengan penambahan akuades sedikit demi sedikit, setelah itu air beserta kotoran yang mengapung dituang beberapa kali sampai diperoleh air cucian yang cukup bersih dari pengotor. Pencucian ini bertujuan untuk memisahkan bentonit dengan pengotornya. Dengan hilangnya pengotor maka dimungkinkan akan memperbesar luas permukaan bentonit sehingga memperbesar proses penyerapan.
Bentonit tersusun dari mineral-mineral yang sangat halus sedangkan lapisan penyusunnya tidak terikat kuat, sehingga apabila mengalami kontak dengan air saat pencucian, mineral akan menunjukkan pengembangan antar lapis. Tahap selanjutnya adalah bentonit  dioven pada suhu 105°C hingga kering (± 3 jam). Pengovenan bertujuan untuk menguapkan air yang terkandung di dalam bentonit. Bentonit dengan kandungan mineral montmorilonit yang dikeringkan dengan cara pengovenan, memiliki jarak dasar 10Å (Kim H. Tan, 1991: 108). Pembukaan pori dapat dilakukan dengan pemanasan bahan adsorben pada suhu tertentu (biasanya 100-600°C). Pada suhu ini diperkirakan molekul air yang terikat dapat dibebaskan (Emdeniz dan Masdiati, 1991: 126).







Foto(018)
Foto(033)



 











Gambar 16. Bentonit Sebelum dan Sesudah Dioven

Partikel bentonit yang digunakan sebagai adsorben, setelah dioven kemudian disimpan di dalam desikator untuk menjaga agar massa adsorben bentonit tetap konstan selama 24 jam. Kemudian bentonit digerus dan diayak dengan ayakan 200 mesh. Semakin kecil ukuran partikel adsorben maka daya adsorpsinya akan semakin besar. Ukuran partikel yang digunakan pada proses adsorpsi akan mempengaruhi kemampuan adsorpsi dari adsorben. Semakin besar luas permukaan adsorben semakin besar pula zat-zat yang terbawa atau melekat pada bentonit (Dinas Pertambangan Sumatra Utara, 2007:6).
Pembuatan adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik, dilakukan dengan menambahkan serbuk bentonit pada larutan surfaktan yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan ODTMA-Br (Octadecyltrimethyl ammonium bromide) sebagai surfaktan yang memiliki gugus kepala amina tersier yang terdiri dari 18 atom C (-C18H37), dimana rantai tersebut bersifat non polar. Bentonit 0,05 gram dicampurkan dengan 20 ml larutan surfaktan ODTMA-Br 0,056 M dalam erlenmeyer. Campuran selanjutnya di shaker dengan kecepatan 200 goyangan per menit selama 4 jam. Campuran yang telah dishaker kemudian dituang dalam wadah plastik dan dibiarkan dalam suhu kamar sampai kering (±3 hari). Setelah kering kemudian digerus kembali dan adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik siap digunakan.

2.      Preparasi  Larutan Toluena
Dalam penelitian ini digunakan larutan toluena dengan konsentrasi 80 ppm dalam 50 ml akuades. Pemilihan konsentrasi toluena ini didasari pada nilai ambang batas toluena menurut Badan Standardisasi Nasional. Konsentrasi toluena dalam lingkungan yaitu 50 ppm, sedangkan konsentrasi toluena yang ada di lingkungan saat ini lebih dari 50 ppm. Pada penelitian ini digunakan konsentrasi toluena 80 ppm. Larutan sebanyak 50 ml toluena 80 ppm dikontakkan dengan 0,05 gram adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik. Campuran toluena dan adsoben kemudian dishaker pada kecepatan 200 goyangan per menit selama 4 jam. Selanjutnya larutan di saring dengan kertas sharing whatman 42. Filtrat yang dihasilkan kemudian ditambahkan pada 5 ml n-heksana, kemudian dilakukan ekstraksi menggunakan corong pisah. Toluena memiliki kelarutan yang rendah dalam air (akuades) sedangkan heksana adalah salah satu pelarut yang baik untuk toluena. Oleh karena itu dilakukan ekstraksi menggunakan n-heksana sehingga sisa-sisa toluena yang tidak teradsorpsi oleh bentonit dapat larut sempurna dalam heksana.
Langkah selanjutnya yaitu menyaring filtrat (toluena dalam n-heksana) dari hasil ekstraksi dengan milex. Tujuan penyaringan ini adalah untuk mencegah adanya partikel padatan dalam filtrat, yang nantinya bila diinjekkan dapat merusak kolom kromatografi gas-cair. Kemudian mengukur konsentrasi toluena yang tidak teradsorpsi oleh adsorben dengan kromatografi gas-cair. Konsentasi toluena teradsorpsi ditentukan dengan menghitung selisih konsentrasi toluena awal dan toluena akhir.
3.      Regenerasi Adsorben
Penggunaan lempung sebagai adsorben mempunyai beberapa keunggulan karena lempung khususnya bentonit mempunyai struktur antar lapis yang dapat dimodifikasi sehingga dapat memperbaiki sifatnya. Disamping itu pemanfaatan lempung sebagai adsorben dapat diregenerasi. Pada penelitian ini, metode regenerasi adsorben dilakukan menggunakan teknik pencucian.
Teknik pencucian dilakukan dengan cara menambahkan pelarut n-heksana pada adsorben bekas yaitu adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik jenuh toluena. Kemudian adsorben bekas dikontakan dengan n-heksana dengan cara dishaker. Waktu kontak pencucian yang digunakan bervariasi yaitu 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan 5 jam.
Campuran adsorben dengan n-heksana kemudian disharing dengan kertas sharing whatman 42 dan dihasilkan filtrat. Adsorben yang telah dicuci dikeringkan kemudian di kontakkan kembali dengan toluena dengan cara dishaker selama 4 jam. Campuran kemudian disaring kembali menggunakan kertas saring whatman 42. Filtrat yang dihasilkan kemudian ditambahkan pada 3 ml n-heksana, kemudian dilakukan ekstraksi menggunakan corong pisah. Tujuannya adalah untuk melarutkan sisa-sisa toluena.
Langkah selanjutnya yaitu menyaring filtrat (toluena dalam heksana) dari hasil ekstraksi dengan milex. Tujuan penyaringan ini adalah untuk mencegah adanya partikel padatan dalam filtrat, yang nantinya bila diinjekkan dapat merusak kolom kromatografi gas-cair. Langkah terakhir adalah  mengukur konsentrasi toluena yang tidak teradsorpsi oleh adsorben (toluena dalam heksana) dengan kromatografi gas-cair.







4.      Sistem Adsorben Bentonit Berpenyangga Surfaktan Kationik
Komposisi montmorilonit terdiri dari lapisan oktahedral dan tetrahedral. Lapisan oktahedral disisipkan diantara dua lapisan tetrahedral yang kemudian membentuk tiga lapisan yang kompleks yang sering disebut TOT (tetrahedral oktahedral tetrahedral). 
Gambar 17. Sketsa Stuktur Lapisan TOT pada Montmorilonit
                                                                                            (Murray, 2007: 16)
Montmorilonit memiliki permukaan yang luas dan memiliki banyak group yang bersifat polar. Bentonit memiliki kemampuan yang sangat kuat untuk mengadsorbsi senyawa polar dan sebaliknya sangat lemah untuk mengadsorpsi senyawa organik. Menurut Men-Liung Liu dalam jurnalnya “Study on Treatment of Organik Wastewater with Modified Bentonite Adsorbent“ (1990: 2), permukaan bentonit harus dimodifikasi secara kimia supaya dapat digunakan untuk mengadsorpsi polutan organik dalam air.
Surfaktan merupakan molekul organik larut air yang memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik sekaligus. Surfaktan kationik memiliki muatan positif pada gugus kepala pada ujung rantai hidrokarbon. Di atas konsentrasi misel kritis (critical micelle concentration, cmc), masing-masing molekul surfaktan  akan saling bergabung membentuk struktur kelompok micellular. Apabila kontak dengan suatu permukaan, surfaktan dapat diserap sebagai monomer, admisel atau hemimisel. Keberadaan surfaktan ini akan mengisi lembaran-lembaran pada montmorilonit. Montmorilonit mempunyai muatan positif yang merata pada permukaannya dan merupakan penukar kation yang baik. Surfaktan ini dimasukkan dengan menukarkan kation pada surfaktan tersebut dengan kation-kation yang sebelumnya terdapat diantara lembaran-lembaran pada montmorilonit. Senyawa kationik ini akan menggantikan kation-kation permukaan montmorilonit dan mengubah permukaan bentonit menjadi sangat hidrofobik. Modifikasi bentonit yang akan membentuk kompleks montmorilonit-surfaktan ini digunakan sebagai adsorben.
Dalam penelitian ini digunakan surfaktan ODTMA-Br (Octadecyltrimethyl ammonium bromide). ODTMA-Br merupakan salah satu turunan dari quarternary amine hexadecyltrimethylammonium (HDTMA), C19H42N+. ODTMA-Br adalah salah satu jenis surfaktan kationik yang memiliki gugus kepala amina tersier yang bersifat polar dan gugus ekor yang berupa rantai alkil yang terdiri dari 18 atom C (-C18H37), dimana rantai tersebut bersifat non polar.



Gambar 18. Struktur ODTMA-Br
ODTMA-Br (Octadecyltrimethyl ammonium bromide) sebagai modifier masuk dalam lapisan montmorilonit kemudian didesak atau dijepit antara dua lapisan TOT (tetrahedral oktahedral tetrahedral) secara heterogen dalam permukaan  montmorilonit. Ruang antara lapisan TOT (tetrahedral oktahedral tetrahedral) diperluas oleh ODTMA-Br sebagai tempat istimewa bagi polutan organik. Reaksi yang terjadi ditunjukkan sebagai berikut:
Bentonit –Na+ + R N+(CH3)3 Br-             Bentonit –N+(CH3)3 R + Na + + Br-    
Dari reaksi diatas dapat diketahui bahwa prinsip utama masuknya surfaktan ke dalam montmorilonit adalah melalui pertukaran kation. Kation-kation yang ada di antara lapisan silikat pada montmorilonit seperti Na+  digantikan kation dari ODTMA-Br. Kation-katon tersebut umumnya tidak kuat terikat sehingga sangat mudah digeser atau ditukarkan oleh kation-kation pada  ODTMA-Br.
Ikatan yang terjadi antara montmorilonit dengan surfaktan adalah ikatan fisik seperi ikatan van der Waals, ikatan hidrogen serta ikatan kimia seperti ikatan ionik, dan ikatan kovalen. Basal spacing atau jarak antar lapis bentonit meningkat karena adanya surfaktan yang terinterkalasi dalam montmorilonit. Interkalasi merupakan penyisipan suatu spesies pada ruang antarlapis dan padatan dengan tetap mempertahankan struktur berlapisnya. Dengan interkalasi material lempung akan mempunyai pori yang besar karena interkalasi akan mendorong lapisan membuka antar lapisan untuk mengembang sehingga akan meningkatkan kinerja adsorpsinya. Jarak antar lapis meningkat maka luas permukaanya juga akan meningkat.

5. Adsorpsi Toluena  oleh Adsorben Bentonit Berpenyangga Surfaktan Kationik Sebelum dan Pasca Regenerasi
Dalam penelitian ini digunakan adsorben bentonit yang memiliki pori-pori antar ikatan mineral lempung serta ketidakseimbangan antar muatan listrik dalam ion-ionnya. Mineral montmorilonit sebagai adsorben yang memiliki potensi mengembang dan mengkerut yang tinggi sehingga mineral ini mampu menyemat senyawa-senyawa organik. Adsorpsi oleh material berpori umumnya adalah adsorpsi fisik. Setelah kesetimbangan tercapai, serapannya cenderung tetap atau bahkan menurun. Toluena yang mengalami kontak dengan adsorben bentonit mengalami proses adsorpsi. Adsorpsi toluena oleh adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik merupakan adsorpsi fisik.
Adsorpsi pada adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik terhadap toluena berdasarkan adanya gaya van der Waals. Gaya van der Waals terjadi karena adanya gaya tarik menarik molekul antara zat terlarut dengan adsorben lebih besar daripada gaya tarik menarik zat terlarut dengan pelarut, maka zat terlarut akan teradsorpsi diatas permukaan adsorben. Gaya tarik menarik molekul antara zat terlarut dengan adsorben terjadi pada sisi aktif adsoben yaitu antara gugus hidrofobik surfaktan dengan toluena. Gugus hidrofobik surfaktan ODTMA-Br akan menarik toluena berdasarkan kaidah like disolve like. Ikatan tersebut sangat lemah dibandingkan ikatan yang timbul karena ikatan valensi. Oleh karena itu, ikatan ini mudah diputuskan dan bersifat reversible.
Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan GLC, kinerja adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik sangat memuaskan dalam mengadsorpsi polutan organik yaitu toluena. Konsentrasi toluena dalam air adalah 80 ppm, kemudian setelah adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik dikontakkan dalam toluena selama 4 jam, disaring dengan kertas saring whatman 42 dan filtratnya diukur dengan GLC, konsentrasi toluena sisa adalah 1,62 ppm. Adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik mampu menyerap 78,38 ppm toluena. Dengan kata lain, adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik mampu menyerap 97,97% toluena.
ODTMA-Br (Octadecyltrimethyl ammonium bromide) memiliki gugus kepala amina tersier yang bersifat polar dan gugus ekor yang berupa rantai alkil bersifat non polar yang terdiri dari 18 atom C (-C18H37). Panjang rantai gugus hidrofobik dari surfaktan ODTMA-Br (Octadecyltrimethyl ammonium bromide) yang bersifat non polar mampu secara aktif menjerap toluena yang bersifat non polar. Sesuai kaidah “like disolve like“ bahwa adanya rantai gugus hidrofobik akan memiliki interaksi dengan toluena.
Salah satu syarat adsorben yang baik adalah dapat diregenerasi. Bentonit merupakan adsorben yang dapat diregenerasi. Adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik dapat diregenerasi karena adsorpsi antara adsorben dan adsorbat adalah adsorpsi fisik dan bersifat reversible yang terjadi secara setimbang di permukaan.
Adsorpsi fisik terjadi karena adanya ikatan van der Waals dan ikatan ini bersifat lemah. Dengan kata lain, toluena yang terjerap pada adsorben mudah dilepas. Pada penelitian ini digunakan teknik pencucian untuk meregenerasi adsorben bentonit berpenyanga surfaktan kationik sehingga dapat digunakan kembali sebagai adsorben serta dapat mengekstrak polutan organik yang telah terjerap pada adsorben. Simpson dan Bruce Lehman (1995: 7) dalam jurnalnya “Process for regeneration spent acid-activated bentonit clay and smectite Catalyst“ menyebutkan bahwa pelarut organik digunakan untuk mengekstrak minyak dari bentonit pada proses regenerasi. Beberapa pelarut digunakan untuk sampel bentonit yang jenuh dengan minyak dan indikasi awal menyatakan bahwa heksana merupakan pelarut paling baik untuk mencuci bentonit.
Teknik pencucian digunakan sebagai usaha pelepasan kembali spesies-spesies yang telah berikatan dengan sisi aktif dari permukaan montmorilonit sebagai adsorben. Oleh karena itu dibutuhkan agen pencuci yang mampu meregenerasi tetapi tidak menyebabkan kerusakan pada adsorben. Agen pencuci yang digunakan pada penelitian ini adalah n-heksana yang dapat melepas toluena dari adsorben. Heksana sifatnya tidak menyebabkan kerusakan ataupun perubahan fisik pada adsorben. Sesuai kaidah “like disolve like“ bahwa adanya heksana yang bersifat non polar maka akan memiliki berinteraksi dengan toluena. Heksana merupakan pelarut yang baik untuk toluena.
Teknik pencucian dilakukan dengan cara menambahkan heksana pada adsorben bekas yaitu adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik jenuh toluena. Kemudian adsorben bekas dikontakan dengan heksana dengan cara dishaker. Untuk mengetahui isoterm adsorpsi dari toluena oleh adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik pasca regenerasi, yaitu dengan menggunakan variasi waktu kontak pencucian adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik jenuh toluena dengan pencuci n-heksana yaitu 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan 5 jam.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu kontak optimum pada teknik pencucian yang digunakan dalam proses regenerasi. Waktu kontak optimum adalah waktu yang dibutuhkan pencuci n-heksana untuk melepas toluena dari adsorben secara maksimal. Dengan mengetahui hubungan variasi waktu kontak pencucian dengan konsentrasi toluena teradsorpsi maka dapat ditentukan waktu kontak optimum pada teknik pencucian. Hubungan variasi waktu kontak dengan konsentrasi toluena teradsorpsi oleh adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik pasca regenerasi ditunjukkan dengan kurva isoterm adsorpsi. Isoterm adsorpsi adalah hubungan antara jumlah zat yang diadsorpsi dan tekanan kesetimbangan atau konsenrasi kesetimbangan pada temperatur tertentu (Sukardjo, 2002: 191). Artinya dengan isoterm adsorpsi dapat diketahui jumlah zat terjerap atau zat terdesorpsi oleh sejumlah adsorben.
Dari gambar 14 (a) dapat ditarik kesimpulan bahwa seiring dengan berjalannya waktu kontak pencucian yaitu 1 jam, 2 jam, 3 jam, dan 4 jam, konsentrasi toluena yang terjerap semakin besar. Semakin lama waktu kontak semakin banyak pula jumlah toluena yang lepas.
Daya jerap adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik pasca regenerasi terhadap toluena pada variasi waktu kontak pencucian 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan 5 jam diperoleh masing-masing sebesar 68,58 ppm (85,57%); 72,19 ppm (90,23%); 74,84 ppm (93,55%); 77,76 ppm (97,2%); 74,27 ppm (92,83%) dengan konsentrasi awal toluena 80 ppm. Dengan demikian dapat diartikan bahwa lamanya waktu kontak pencucian mempengaruhi proses pelepasan toluena dalam adsorben.
Pada waktu kontak pencucian selama 4 jam, adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik menunjukkan performa jerapan yang maksimum. Dapat diartikan bahwa waktu kontak optimum pada teknik pencucian dalam proses regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik adalah 4 jam.
Pada waktu kontak pencucian selama 5 jam adsorpsi terhadap toluena oleh adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik mengalami penurunan walaupun tidak signifikan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada waktu kontak pencucian 4 jam interaksi yang terjadi pada sisi aktif yang telah mengikat toluena dengan pencuci n-heksana telah cukup efektif sehingga penambahan waktu kontak cenderung tidak meningkatkan jumlah toluena yang terlepas, sehingga adsorpsi terhadap toluena cenderung menurun. Proses pelepasan toluena ini telah mengalami kesetimbangan pada waktu kontak 4 jam. Adsorpsi merupakan proses yang berlangsung cepat, waktu kontak yang sedikit lebih lama dari waktu kontak optimum dapat mengakibatkan tertariknya kembali toluena yang telah lepas, sehingga dapat masuk kembali ke dalam adsorben.
Dengan menggunakan waktu kontak pencucian selama 4 jam, adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik pasca regenerasi masih mampu menjerap 97,2% toluena dalam limbah. Hal ini menunjukkan bahwa teknik pencucian cukup efektif digunakan pada proses regenerasi sistem adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik.
Berdasarkan tabel 4 dan gambar 14 (b) terlihat bahwa pada waktu kontak 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam diperoleh daya jerap adsorben sebesar 0,06858 ml toluena/ g adsorben: 0,07219 ml toluena/ g adsorben: 0,07484 ml toluena/ g adsorben: 0,07776 ml toluena/ g adsorben dan 0,07427 ml toluena/ g adsorben. Perhitungan dapat dilihat pada lampiran 3.
Untuk penelitian ini, model isoterm adsorpsi secara khusus tidak dibahas, yang dibahas hanya isoterm adsorpsi secara umum saja. Dengan melihat data yang diperoleh dari penelitian, model isoterm adsorpsi yang paling mendekati adalah model isoterm Langmuir. Dari persamaan isoterm Langmuir dapat ditentukan nilai jerapan maksimum. Adsorpsi maksimum ini dapat terjadi ketika adsorben sudah mencapai titik maksimum untuk menjerap adsorbat.










BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1.      Daya jerap adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik pasca regenerasi terhadap toluena pada variasi waktu kontak pencucian 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan 5 jam diperoleh masing-masing sebesar 85,57%; 90,23%; 93,55%; 97,20%, dan 92,83%.
2.      Waktu optimum pada teknik pencucian dalam proses regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik adalah 4 jam.
3.      Teknik pencucian adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik menggunakan pelarut n-heksana cukup efektif digunakan pada proses regenerasi adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik.
4.      Kurva hubungan antara variasi waktu kontak pencucian dengan konsentrasi toluena teradsorpsi dapat ditunjukan dengan kurva isoterm adsorpsi. Isoterm adsorpsi secara umum menunjukkan bahwa jerapan adsorben meningkat dengan pertambahan waktu kontak pada teknik pencucian dan cenderung menurun saat kesetimbangan tercapai.

B. Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disarankan sebagai berikut:
1.      Melakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan daya jerap adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik dengan menggunakan sampel polutan toluena dari lingkungan.
2.      Melakukan penelitian mengenai bentuk packaging yang tepat untuk adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik sehingga dapat diaplikasikan oleh industri.
3.     
51
 
Bagi industri yang menghasilkan polutan organik dapat menggunakan adsorben bentonit berpenyangga surfaktan kationik sebagai salah satu alternatif menanggulangi limbah organik.